Beragam Ritual Kepercayaan pada Arsitektur Nusantara di Indonesia Timur

Selasa, 16 Desember 2025 | 16:33:57 WIB
Pura Taman Ayun / Foto: Istimewa

Jakarta - Arsitektur Nusantara mencerminkan kearifan lokal yang berkembang di berbagai wilayah Indonesia, mencakup beragam bentuk dan fungsi bangunan tradisional. Menurut Nuryanto, arsitektur tradisional tidak hanya dilihat sebagai bentuk fisik semata, tetapi juga sebagai artefak budaya manusia yang menginformasikan kekhasan budaya manusia yang menciptakannya. 

Tidak hanya berfungsi sebagai tempat hunian atau ibadah, tetapi juga sebagai media untuk mengekspresikan identitas budaya, sistem sosial, dan hubungan manusia dengan alam.  Bangunan-bangunan ini mencerminkan karakter masyarakat dan mengekspresikan nilai budaya serta sistem kepercayaan yang dianut komunitasnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik arsitektur vernakular dan klasik dari ketiga daerah, termasuk sejarah, lokasi, fungsi, material, dan ritual yang melekat. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur jurnal ilmiah dan observasi dokumenter menggunakan foto yang kredibel, sehingga memungkinkan penilaian komprehensif terhadap aspek intangible dari setiap bangunan.

A. Bali Vernakular (Pura Goa Gajah)

Goa Gajah di Bedulu (Gianyar) berkembang sejak sekitar abad ke-11 M sebagai komplek pertapaan dan tauhid yang memadukan unsur hindu-buddha; situs ini memiliki mulut gua berukur, kolam pemandian suci (patirhan), dan fragmen candi yang menandai fungsi religious kuno dan peran sebagai landskap budaya yang terus dipakai hingga kini.

Gambar 1. Pura Goa Gajah

B. Bali Klasik (Pura Taman Ayun)

Pura Taman Ayun didirikan tahun 1634 oleh keluarga kerajaan Mengwi sebagai pura paibon/kerajaan dan pusat ritus subak/air bagi bagi wilayah Mengwi; tata ruangnya (kolam, meru bertingkat, taman) merepresentasikan arsitektur pura kerajaan dan hubungan antara sistem ritual kerajaan dan pengelolaan air/subak.

Gambar 2. Pura Taman Ayun

C. NTB Vernakular (Bale Lumbung)

Bale Lumbung (serta tipe bale vernakular sasak) Adalah bagian dari tradisi agaris Masyarakat Sasak.

Gambar 3. Bale Lumbung

D. NTB Klasik (Istana Dalam Loka)

Istana Dalam Loka di Sumbawa Besar Adalah istana kesultanan Sumbawa (abad 19), sebuah rumah panggung berskala besar yang merekam struktur social dan simbolisme Kerajaan Sumbawa.

Gambar 4. Istana Dalam Loka

E. NTT Vernakular (Mbaru Niang)

Mbaru Niang (rumah kerucut/menara) adalah tipe hunian kolektif tradisional di NTT (contoh terkenal; Wae Rebo di Manggarai, dan variasi di Sumba); bangunan ini berfungsi sebagai hunian klan dan pusat ritual komunal arsitektur ini dipertahankan lewat retorasi/konservasi modern karena nilai kulturalnya.

Gambar 5. Mbaru Niang

F. NTT Klasik (Gereja Katolik Paroki Santo Ignatius Loyola)

Gereja St. Ignatius Loyola di Sikka (Flores) Adalah salah satu gereja tertua di wilayah itu yang dibangun pada era misi katolik yang kuat pada abad ke-19/awal abad ke-20; bangunan ini mempresentasikan pengaruh arsitektur kolonial Eropa yang diadaptasi secara lokal dan berperan besar dalam sejarah komunitas katolik Flores.

Gambar 6. Gereja St. Ignatius Loyola

Discussion

Dari analisis kelompok kami, berbagai daerah di Bali, NTB, dan NTT, setiap bangunan tradisional atau klasik punya ciri khas dan nilai yang tumbuh dari budaya lokalnya. Misalnya, Pura Goa Gajah di Bali dibangun dengan filosofi Hindu-Buddha dan memadukan fungsi spiritual dengan elemen alam, yakni komplek situs bagian utara dan komplek situs bagian selatan. 

Komplek situs bagian utara dilengkapi dengan artefak dari penganut ajaran  Hindu-Siwa, sehingga  dikatakan  sebagai  komplek  yang  bersifat  Siwaistis.  Pada komplek situs bagian selatan dikatakan lebih bersifat Budhistis, karena banyak ditemukan peninggalan artefak dari penganut ajaran Buddha. Sedangkan Pura Taman Ayun dibangun dengan filosofi Hindu-Bali murni yang menekankan keseimbangan kosmis dan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam (Tri Hita Karana). 

Pura ini berfungsi sebagai pura keluarga kerajaan Mengwi sekaligus pusat kegiatan keagamaan masyarakat, sehingga ritualnya lebih menekankan upacara kolektif seperti odalan pura dan piodalan, berbeda dengan Goa Gajah yang lebih bersifat pertapaan dan penyucian spiritual individu maupun kelompok.

Hal yang sama juga terlihat di NTB dan NTT. Pada Bale Lumbung di Lombok contohnya, menonjolkan kearifan lokal dalam pengelolaan pangan serta ritual tradisional yang berkaitan dengan musim tanam dan panen sebagai upaya bentuk syukur kepada alam. Sementara itu, pada Istana Dalam Loka memperlihatkan bentuk klasik yang lebih formal, sebagai simbol kekuasaan raja Sumbawa, tetapi juga menjadi pusat penyelenggaraan upacara adat dan kegiatan keagamaan yang mencerminkan nilai-nilai spiritual masyarakat setempat.

Sementara di NTT, Mbaru Niang di Flores, Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol kebersamaan, kearifan lokal, dan hubungan harmonis dengan alam, yang memiliki beberapa ritual adat yang biasa mereka lakukan seperti, Penti (syukur atas panen) atau Todo (musyawarah penting). 

Di sisi lain, Gereja Tua Sikka atau Gereja Katolik Paroki Santo Ignatius Loyola menjadi salah satu contoh bangunan yang memadukan antara dua budaya, yaitu budaya lokal dengan pengaruh kolonial portugis, di mana upacara dan ritual keagamaannya yang memperlihatkan bentuk sinkretisme antara liturgi (kerja bersama yang merujuk pada ibadah resmi) katolik dan tradisi leluhur dari masyarakat di sikka. 

Dan dalam perayaan keagamaan seperti Misa mingguan, perayaan pesta santo/pesta paroki, integrasi praktik religius Katolik dengan tradisi lokal , unsur adat lokal tetap dipertahankan melalui nyanyian, tarian, dan penggunaaan bahasa daerah dalam doa-doa tertentu. Tradisi ini juga memperlihatkan tentang bagaimana masyarakat sikka tidak hanya menjadi penerima agama katolik sebagai warisan kolonial, tetapi juga mengartikannya sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka sendiri.

Enam bangunan ini menunjukkan keragaman ritual dan sistem kepercayaan yang membentuk identitas arsitektur Nusantara di Bali, NTB, dan NTT. Pura Goa Gajah di Desa Bedulu, Gianyar, menjadi pusat pertapaan dan penyucian yang mencerminkan sinkretisme Hindu–Buddha; ritual melukat, pemujaan leluhur, dan praktik meditasi mendominasi aktivitas sakral di dalamnya. 

Sementara itu, Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung, berfungsi sebagai pura keluarga kerajaan Mengwi yang terhubung dengan sistem subak; upacara odalan tingkat kerajaan dan ritus pengairan menjadi bagian penting dari praktik keagamaannya. Berbeda dengan Bali, Bale Lumbung di Lombok Tengah dan permukiman Sasak berlandaskan tradisi agraris, sehingga ritualnya berkaitan dengan panen, penyimpanan padi, serta aturan adat mengenai pengelolaan hasil pertanian. 

Di Sumbawa, Istana Dalam Loka mempresentasikan perpaduan adat Sumbawa dan nilai Islam, terlihat melalui upacara pelantikan sultan dan berbagai seremoni kerajaan. Mbaru Niang di Wae Rebo, Flores, memperlihatkan kepercayaan leluhur masyarakat Manggarai, dengan ritual tahunan seperti penti, persembahan klan, dan doa komunal sebagai wujud penghormatan terhadap nenek moyang. 

Di sisi lain, Gereja Katolik Paroki Santo Ignatius Loyola di Sikka merepresentasikan tradisi Katolik melalui misa, sakramen, pesta santo, dan perayaan liturgi yang diintegrasikan dengan budaya lokal. Keseluruhan bangunan ini memperlihatkan bagaimana setiap daerah memiliki ekspresi ritual yang sangat berbeda sesuai sejarah, kepercayaan, dan struktur sosialnya.

Dari dua perspektif ini, kami jadi bisa memahami bahwa arsitektur Nusantara itu tidak hanya sekadar gaya, tapi juga refleksi perjalanan budaya, seperti pada Pura Goa Gajah di Bali yang dibangun pada masa ketika terjadi sinkretisme antara hindu dan budha, lalu Bale Lumbung di Lombok yang proses pendiriannya disertai ritual “Begawe Lumbung” atau upacara syukuran dengan doa dan persembahan kepada tuhan, dan pada Mbaru Niang yang berada di Flores ini merupakan rumah kerucut milik masyarakat manggarai yang menjadi pusat kehidupan sosial.

Conclusion

Berdasarkan analisis kami keenam bangunan di Bali, NTB, dan NTT, dapat disimpulkan bahwa arsitektur Nusantara menunjukkan keseimbangan antara kemegahan bangunan dan nilai ritual budaya. Bangunan vernakular, seperti Pura Goa Gajah, Bale Lumbung, dan Mbaru Niang, menekankan hubungan erat dengan bentuk arsitektur dan ritual-ritual yang bersumber dari kepercayaan komunitas, seperti tempat penyucian, upacara panen, dan penghormatan leluhur. 

Sementara itu, bangunan klasik seperti Pura Taman Ayun, Istana Dalam Loka, dan Gereja Tua Sikka menampilkan struktur formal, ornamentasi detail, dan pengaruh kerajaan atau kolonial, namun tetap mempertahankan nilai ritual dan simbolisme yang melekat pada budaya setempat. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa baik vernakular maupun klasik memiliki aspek intangible yang beragam, tidak hanya mencerminkan identitas budaya, melainkan menjadi penjaga dan pewaris yang memberi napas pada warisan Nusantara.

Dari riset ini juga terlihat beberapa constraint and opportunities untuk studi berikutnya. Constraint, sebagian data masih mengandalkan dokumentasi sekunder dan video, sehingga informasi tentang kondisi praktik ritual terkadang kurang lengkap. Opportunity, untuk penelitian selanjutnya, bisa fokus pada bagaimana perubahan sosial dan pariwisata mempengaruhi pelestarian arsitektur tradisional, atau menggunakan metode digital seperti dokumentasi audiovisual imersif untuk mendokumentasikan ritual secara lebih utuh. 

Pendekatan ini akan membantu kita memahami bagaimana arsitektur Nusantara tetap relevan di zaman modern tanpa kehilangan nilai budaya asli.

Dosen: Amanda Rosetia, Ph.D.

Tim Penulis Mahasiswa Universitas Internasional Batam: Crecia Aurora Pradipta; Amelia Kartika Dewi; Fatimah Azzahra Firstarida Aghata; Adifadio Riefko Firmanda; Novelly Lutfia Hapsari; Haeqal Naufal; Intan Ramadhani Octavia

References

Arsitektur Nusantara?: pengantar pemahaman arsitektur tradisional Indonesia. (2019). PT Remaja Rosdakarya. 

ARSITEKTUR NUSANTARA: Pengantar Pemahaman Arsitektur Tradisional Indonesia

Ibadi, R. M. W., & Prijotomo, J. (2024). Kajian Prinsip dan Elemen Desain Arsitektur Nusantara. Local Engineering, 1(1), 11–20. https://doi.org/10.59810/lejlace.v1i1.29 

Ayu, G., Suartika, M., Cuthbert, A., Putra, G. M., & Saputra, K. E. (2020). Public Domain and Cultural Legacy: The Governance of a Sacred and Vernacular Cultural Landscape in Bali. In ISVS e journal (Vol. 7). https://isvshome.com/pdf/ISVS_7-2/ISVS-ej-7.2.1-Gusti-Suartika.pdf 

Priantara, P. H. H. (2022). Visiting Taman Ayun Temple, a Bali’s Subak Heritage Temple in Mengwi. Bali Tourism Journal, 6(2), 34–37. https://doi.org/10.36675/btj.v6i2.78 

Wahyudi, D. S., & Wikantiyoso, R. (2021). Limbungan Local Wisdom and Conservation of Vernacular Architecture East Lombok Sasak. Local Wisdom?: Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal, 13(2), 165–176.https://doi.org/10.26905/lw.v13i2.5291 

Meyundasari, M. D., Hastuti, I. D., Syaharuddin, S., & Mehmood, S. (2024). The geometric concepts of the Istana Dalam Loka traditional house: An ethnomathematics study. Jurnal Elemen, 10(2), 305–323. https://doi.org/10.29408/jel.v10i2.25208 

Novita, D., Suyasa, I. M., Agusman, A., Bagiastra, I. K., & Kurniansah, R. (2022). STRATEGI PENGEMBANGAN ISTANA DALAM LOKA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA KOTA SUMBAWA NTB. Journal Of Responsible Tourism, 2(2), 267–280. https://doi.org/10.47492/jrt.v2i2.2160 

Setiawati, R., Dewi, N. F., & Santoso, R. K. (2023). Wae Rebo Tourism Village Development Based on Local Wisdom and Community Products through a Technological Innovation Approach in Creating Economic Resilience. ICVEAST, 54. https://doi.org/10.3390/proceedings2022083054 
preservation-mbaru-niang[1]. (n.d.). https://the.akdn/en/how-we-work/our-agencies/aga-khan-trust-culture/akaa/preservation-mbaru-niang 

Elt Tari, J., Naiola, D., Bikomi Selatan, K., Febronia Hale, M., Tamelab, P., Hendritha Lidya Ngongo, M., & Keuskupan Agung Kupang, S. (2024). Forum Kajian Pendidikan Keagamaan NTT Faith Embodied and Cultural Identity: Theological and Performative Dimensions of the Logu Senhor Procession in Sikka. In 50 Multidisciplinary Journal (Vol. 1, Issue 2). https://multidisciplinaryjournal.ejurnal.org/index.php/mdj/article/download/8/53/69 

’Setiawan, A. (2020, December 25). Gereja St Ignatius Loyola Sikka Perpaduan Seni Eropa-Flores. INDONESIA.GO.ID. https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/2261/gereja-st-ignatius-loyola-sikka-perpaduan-seni-eropa-flores?lang=1 

Whelan, D. (2010). Built to meet needs: cultural issues in vernacular architecture - By Oliver, Paul. Journal of the Royal Anthropological Institute, 16(1), 165–166. https://doi.org/10.1111/j.1467-9655.2009.01604_2.x 

Octavia, L. (2022). Jelajah Pemikiran Josef Prijotomo terhadap Arsitektur Nusantara (Tahun 1999-2020): Kajian Sejarah Pemikiran. ATRIUM: Jurnal Arsitektur, 7(2), 141–160. https://doi.org/10.21460/atrium.v7i2.156 

Quddus, A. (2020). Religio-magicism of Sasak: the Qur’anic Mantras in the Healing Rituals of Lombok Community. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, 24(2), 2388-2394. https://doi.org/10.61841/m87sjr34

Mawarni, H. (2022). Kearifan Lokal dalam Lawas (Puisi Rakyat) Upacara Ponan Masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat. EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 4(2), 2164–2173. https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i2.2395
1521-Article Text-13889-1-10-20241014 (1). (n.d.).

Terkini